Jika boleh saya berpendapat, masyarakat Negara kita Indonesia ini adalah masyarakat feodal yang kental. Dalam masyarakat feodal, gelar merupakan
sebuah kehormatan. Baik itu gelar kebangsawanan (ningrat) maupun gelar
akademik. Orang seringkali mudah tersinggung kalau gelarnya lupa
dicantumkan. Bahkan tak sedikit orang yang sengaja memanipulasi gelar.
Sengaja mencantumkan gelar yang memang tak pernah ia miliki hanya
sekadar untuk dihormati.
Dibandingkan
dengan masyarakat di Eropa, di eropa sana gelar bukan lagi barang yang
istimewa. Orang-orang sudah tak lagi memikirkan gelar. Di kartu-kartu
nama orang-orang eropa tak pernah ada embel-embel gelar. Cukup nama dan
nomor telepon saja. Bagi mereka yang sudah memiliki peradaban maju tak
terlalu risih berkenalan tanpa menyebut gelar. Masyarakat negara maju
lebih menghormati orang-orang yang memiliki karya dan berdedikasi tinggi
pada bidangnya. Entah orang itu lulusan SD atau SMA. Selama ia
berkarya, ia dihormati.
Harus diakui memang beda jauh dengan masyarakat feodal seperti di
Indonesia, Seorang loper koran yang wawasannya luas karena tiap hari
baca koran kata-katanya tak akan pernah digubris. Sedangkan seorang
ningrat (dalam kebangsawanan), haji (dalam keagamaan) atau doktor (gelar
akademik, meski gelarnya beli dan tak pernah punya buku di rumahnya)
akan terus dipercayai.
Lihatlah seorang Emha Ainun Najib. Tulisan dan buku-bukunya, sangat enak
dan menarik dibaca karena memang tingkat intelektualitasnya sangat
tinggi meski tidak satu gelar akademikpun sempat diraihnya. Bandingkan
dengan profesor atau doktor yang berjibun jumlahnya di republik ini
namun menulis buku atau setidaknya sebuah artikel saja tidak mampu!
Pertanyaannya berkuliah tinggi-tinggi untuk apa, mencari ilmu, sekadar
gelar, titel, atau prestise?
Prestise!
Gengsi! Itulah yang terjadi saat ini! Banyak orang sekarang ini yang
menginginkan di depan atau belakang namanya sederet gelar. Dr Anu, S…..,
M….. dan seterusnya. Kalau bukan untuk mencari ilmu, titel atau gelar
semata, lantas untuk apa kalau bukan demi gengsi dan prestise. Memang
keren kalau di kartu tanda penduduk (KTP) atau setidaknya di kartu nama
atau papan nama depan rumah, tercantum sederet gelar yang berjibun.
Banyaknya kasus jual beli gelar yang akhir-akhir ini sering terjadi di
dunia pendidikan kita tentunya tak lepas dari ambisi seseorang untuk
menjadi ningrat secara akademik. Di negeri feodal menjadi Ningrat adalah
kebanggaan. Berderet-deret gelar berarti berderet-deret uang siap
menjelang. Karena itu tak berlebihan kalau disebut bahwa kaum ningrat
adalah pelopor berdirinya masyarakat instan.
Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan
adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi
percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses
panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell,
masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah
kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa
dicapai dengan uang.
Tapi
memang terlalu naïf jika saya cepat-cepat menyalahkan masyarakat kita
yang dengan bangganya mencantumkan sederet gelar di depan dan belakang
namanya. Karena ‘keadaanlah’ yang membuat mereka begitu. Di republik
yang masih kita cintai ini, titel atau gelar lebih dihargai daripada
tingkat kemampuan dan intelektualitas seseorang. Akibatnya, seorang
master tak menguasai bidang digelutinya. Demikianlah keadaannya, harap
maklum! Akhir kata
seperti kata Eka Budianta bahwa tanpa pelampung gelar yang banyak dan
’berat’ itu, orang lebih mampu menyelami lautan Ilmu sedalam-dalamnya.
Sebab di dasar lautan itulah tersimpan mutiara yang tak ternilai
indahnya.
Referensi: http://muda.kompasiana.com/2013/02/12/gelar-lebih-dihargai-daripada-intelektualitas-527698.html