
Di sisi lain mahasiswa dihadapkan pada pilihan antara
idealis dan ketatnya persaingan di dunia kerja. Menjadikan IPK sebagai dewa di
atas segala-galanya. Instansi manapun berlomba-lomba menyiduk tenaga kerja
berdasarkan apa yang tertera di selembar kertas bernama ijazah. Membuat para
lulusan dari PTN/PTS terkotak-kotak berdasarkan angka yang proses
pembentukkannya tidak pernah ada transpransi sama sekali. Padahal keterampilan
dan kepandaian seseorang tidak bisa dilihat dari segi angka. Terkadang
pengalamanlah yang justru membawa dampak besar bagi kecakapan menyelesaikan
masalah real dalam masyarakat. Tetapi apalah daya, birokrasi sudah membetot
sedemikian rupa sehingga kita tak memiliki wajah untuk menyalurkan potensi diri
kecuali dengan pengesahan tersistem. Hal ini sedikit banyak membelokkan niat
dari belajar ke arah yang lebih spesifik alias dunia kerja.
Maka pertanyaan sederhana di atas seolah menohok
perasaan ketika seorang mahasiswa ditodong tentang niat apa yang terlintas
dalam benaknya. Sebagai manusia masa kini, apalagi dalam masa mencari jati
diri, tentu ia akan dilema melontarkan jawaban. Apakah yang dijalani selama ini
tulus demi mencari ilmu atau telah bergeser menjadi ajang gengsi-gengsian dalam
meraih prestise.
“Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut
Wuri Handayani"
-Ki Hajar Dewantara-