Jumat, 13 April 2012


Lukisan senja yang terhampar di balik bayang jingga menghiasi sore ini, aku benamkan diri dalam pelukan kenangan yang seakan tak mau pergi menghantui sudut-sudut pikiranku. Angin sejuk yang menerpa tubuhku semakin membuatku betah untuk tetap berdiri di sini, dilantai 2 balkon rumahku yang selama ini menjadi tempat favoritku untuk  menyendiri dari keramaian.
Di tempat ini, begitu banyak menyimpan kenangan yang telah tercipta dalam hidupku, baik itu sedih maupun senang semua tersimpan dengan rapi dalam memori pikiranku.
Sore ini aku memiliki janji dengan Fia untuk saling bertukar lukisan. Aku menunggu dengan ditemani segelas cappucino untuk menghilangkan rasa kantuk setelah pulang kuliah. 

“Dika, apa kabar?”
Aku coba berbalik melihat sumber suara yang menyapaku itu.
“Fia, ternyata kamu datang juga, ku pikir...”
“Aku gak datang? Ga bakal lah kita kan sudah janji”
Aku hanya dapat tersenyum, Fia berjalan menghampiriku dan mengambil posisi berdiri di sampingku.
"Tak banyak yang berubah dari tempat ini."
"Kecuali orang yang berdiri di sampingku ini."
"Kamu ya...!" Fia memukul pelan pangkal lenganku.
"Kamu tuh yang banyak berubah."
"Berubah gimana? Perasaan biasa aja deh."
"Kamu jauh lebih dewasa sekarang."
Aku tersenyum, kualihkan pandanganku kembali menatap hamparan pemandangan desa di depanku.
"Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan." Ucapku tanpa mengalihkan pandangan.
"Oh ya? Tentang apa?"
Aku tak melanjutkan kata-kataku.
"Wah malah diam?"
"Oh ya, mana lukisan yang mau dibarter?" aku coba mengalihkan pembicaraan.
“Lukisan? Sebentar aku ambilkan di sepeda motor.”
“hmmm, oke”
Seketika itu pula Fia beranjak pergi kemudian berjalan menuruni tangga menuju sepeda motornya. Sedang aku duduk menunggu dia membawa lukisannya.
“Dika, ini lukisan pesanan kamu kemarin?”
“Horeee..!!! sepertinya bagus nih?”
“Tunggu dulu? Mana lukisan kamu?”
“Ahh, gampang. Ini sudah ku siapkan dari tadi”
“Wahh? Lukisan kamu memang tiada duanya, selalu maksimal hasilnya.”
“Ahh, malu. Jangan berlebihan memujinya.”
Rona pipi Fia benar – benar terlihat kemerah – merahan karena malu ku puji. Ketika Fia membuka gambaranku dia terlihat bingung dengan gambaranku.
“Dik, lukisan apaan ini? kenapa ada pelangi di malam hari?”
Tak ku jawab pertanyaannya.
“Kok diam? Jangan buat aku penasaran !.”
“Itu lukisan ungkapan dari sini (sambil menunjuk dada).”
“Maksudnya Dik?”
“Pelangi di malam hari tak akan mungkin terjadi dalam kehidupan. Bukankah malam telah memiliki bulan seperti itu pula bila aku mencintai seseorang tetapi dia sudah ada yang punya.”
“Kamu mencintai seseorang? Siapa dia?”
“Haruskah aku jawab?” Sambil ku tundukkan kepala.
“Harus, agar semua jelas. Apakah diriku orang yang kamu maksud?”
Perlahan aku hanya bisa menganggukkan kepala.
“Hmm, aku paham. Sejak kapan kamu mencintaiku?”
“Sejak saat pertama kali kita bertemu aku mulai jatuh hati padamu hingga sekarang rasa itu semakin lekat dalam pikiranku. ”
"Jujur, aku senang kalau kamu mau jujur sama aku bahwa kamu sayang aku. Tapi kenapa perasaan kamu harus buat aku, padahal kamu sendiri tahu keadaan aku saat ini."
 “Maaf Fia, ini hanya perasaan pribadiku, perasaan yang tak pernah mau melihat bagaimana keadaan yang sebenarnya.
“Aku memahami itu, tapi kamu harus maju Dik, kamu harus bisa membuka hati kamu, untuk orang-orang yang mungkin sudah di pilihkan Tuhan untuk kamu sayangi."
“Aku akan coba untuk itu.” (dengan suara yang hampir tak kedengaran)
“Ku harap kamu mengerti dan ku tak ingin hatimu terluka lebih dari ini.”
“Ok Fia!”
Sejenak kami membisu, Fia terlihat masih bermain dengan perasaannya, sama seperti apa yang ku lakukan.
Oh ya gimana hubunganmu dengan Adly?" Aku mencoba memecah keheningan.
"Fine!"
"Syukurlah kalau gitu, dia beruntung dapat wanita seperti kamu. Dan kamupun beruntung memilikinya. Kalian pasangan serasi."
Fia tampak memalingkan wajahnya dari pandanganku ketika ku berkata seperti itu.
Hari ini aku putuskan untuk pergi dari kehidupan kamu Fia."
"Kamu ingin memutus tali persahabatan kita? kenapa?"
Dari awal, aku memang salah karena dalam persahabatan kita aku sudah bermain dengan hati.  Selama kamu berhubungan denganku, kamu selalu bilang bahwa Adly tak pernah tahu. Dan kamu selalu bersembunyi dari setiap orang jika ingin bertemu denganku. Semua lelaki sama Fia, mana ada yang rela jika tahu pacarnya lebih sering berhubungan dengan sahabatnya. Aku tak ingin menjadi perusak bagi hubungan kamu dengan Adly, maka dari itu, aku memilih untuk mundur.
“Kenapa kamu berfikiran seperti itu? Kamu bukan penghalang hubunganku dengan Adly.”
“Fia, hidup ini pilihan. Meski kita menemukannya bukan berarti kita memilikinya. Tapi ku yakin Adly orang yang pantas untukmu dan jagalah perasaannya. Sejak hari ini, aku tak akan menghubungi kamu lagi, meski begitu aku akan selalu mendoakanmu dan mengenangmu.”
"Kenapa kamu seperti membuangku?"
"Aku bukan membuang kamu Fia, hanya kamu harus mengerti akan perasaanku, yang akan tersiksa jika seperti ini terus."
"Apa kamu tak ingin berubah pikiran?"
"Tidak Fia, ini sudah lama ingin aku lakukan, hanya menunggu waktu yang tepat, dan aku yakin kamu bisa hidup jauh lebih baik dengannya."
Fia terdiam, air mata mulai bergulir di pipi lembut gadis itu. "Aku tak menyangka kamu mempunyai pemikiran seperti ini, aku pikir kamu bisa menjadi sahabat terbaik dalam hidupku, namun kamu malah memilih pergi."
"Fia dengar, ini untuk kebaikan kamu juga." Aku memberanikan diri mengambil lengannya dan mulai menggenggamnya.
"Tapi aku tak ingin kehilanganmu." Tak kusangka Fia memeluk erat tubuhku.
"Fia dengarkan aku." Perlahan aku melepas pelukan itu. "Kamu tak akan pernah kehilanganku, karena aku akan selalu ada disini.”
"Baiklah, apakah aku boleh menghubungi kamu lagi jika aku putus dengan Adly."
"Ya, tapi aku tidak menyuruhmu memutuskan hubungan mu dengan Adly. Biarkanlah hidup ini mengalir seperti air."
"Gimana kalau kamu sudah memiliki cewek? Aku tak boleh menghubungimu?"
"Itu balik lagi ke pribadi kamu Fia. Ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang, orang tuamu  pasti mencari kamu."
Fia melirik jam di lengannya."Aku pamit Dik."
"Jaga diri kamu ya, lakukan yang terbaik untuk orang-orang yang menyayangi kamu. Aku sayang kamu Fia."
Fia mengangguk, di balikkannya tubuhnya dan mulai berjalan menjauhiku.
Perih hati ini membuatku tak dapat menahan laju air mataku. Untuk kesekian kalinya aku harus menguras mataku karena Fia, aku masih ingin bersamanya namun keadaan tak mengijinkanku untuk itu, sudahlah, dia memang bukan untukku.
Sofia Diyanti, gadis yang selalu aku damba kini hanya menjadi bagian sejarah perjalanan hidupku.

13 Apr 2012