Lukisan
senja yang terhampar di balik bayang jingga
menghiasi
sore ini, aku
benamkan diri dalam pelukan kenangan yang seakan tak mau pergi menghantui
sudut-sudut pikiranku. Angin sejuk yang
menerpa tubuhku semakin membuatku betah untuk tetap berdiri di sini, dilantai 2
balkon rumahku yang selama ini menjadi tempat favoritku untuk menyendiri dari keramaian.
Di tempat ini, begitu banyak menyimpan kenangan yang
telah tercipta dalam hidupku, baik itu sedih maupun senang semua tersimpan
dengan rapi dalam memori pikiranku.
Sore ini aku memiliki janji dengan Fia untuk saling
bertukar lukisan. Aku menunggu dengan ditemani segelas cappucino untuk
menghilangkan rasa kantuk setelah pulang kuliah.
“Dika, apa kabar?”
Aku coba berbalik melihat sumber suara yang menyapaku
itu.
“Fia, ternyata kamu datang juga, ku pikir...”
“Aku gak datang? Ga bakal lah kita kan sudah janji”
Aku hanya dapat tersenyum, Fia berjalan menghampiriku dan mengambil
posisi berdiri di sampingku.
"Tak
banyak yang berubah dari tempat ini."
"Kecuali
orang yang berdiri di sampingku ini."
"Kamu
ya...!" Fia
memukul pelan pangkal lenganku.
"Kamu
tuh yang banyak berubah."
"Berubah
gimana? Perasaan biasa aja deh."
"Kamu
jauh lebih dewasa sekarang."
Aku
tersenyum, kualihkan pandanganku kembali menatap hamparan pemandangan desa di depanku.
"Sebenarnya
ada yang ingin aku sampaikan." Ucapku tanpa mengalihkan pandangan.
"Oh
ya? Tentang apa?"
Aku
tak melanjutkan kata-kataku.
"Wah malah diam?"
"Oh
ya, mana lukisan yang mau dibarter?"
aku coba mengalihkan pembicaraan.
“Lukisan? Sebentar aku ambilkan di sepeda motor.”
“hmmm, oke”
Seketika itu pula Fia beranjak pergi kemudian berjalan menuruni
tangga menuju sepeda motornya. Sedang aku duduk menunggu dia membawa
lukisannya.
“Dika, ini lukisan pesanan kamu kemarin?”
“Horeee..!!! sepertinya bagus nih?”
“Tunggu dulu? Mana lukisan kamu?”
“Ahh, gampang. Ini sudah ku siapkan dari tadi”
“Wahh? Lukisan kamu memang tiada duanya, selalu maksimal
hasilnya.”
“Ahh, malu. Jangan berlebihan memujinya.”
Rona pipi Fia benar – benar terlihat kemerah – merahan
karena malu ku puji. Ketika Fia membuka gambaranku dia terlihat bingung dengan
gambaranku.
“Dik, lukisan apaan ini? kenapa ada pelangi di malam
hari?”
Tak ku jawab pertanyaannya.
“Kok diam? Jangan buat aku penasaran !.”
“Itu lukisan ungkapan dari sini (sambil menunjuk dada).”
“Maksudnya Dik?”
“Pelangi di malam hari tak akan mungkin terjadi dalam
kehidupan. Bukankah malam telah memiliki bulan seperti itu pula bila aku
mencintai seseorang tetapi dia sudah ada yang punya.”
“Kamu mencintai seseorang? Siapa dia?”
“Haruskah aku jawab?” Sambil ku tundukkan kepala.
“Harus, agar semua jelas. Apakah diriku orang yang kamu
maksud?”
Perlahan aku hanya bisa menganggukkan kepala.
“Hmm, aku paham. Sejak kapan kamu mencintaiku?”
“Sejak saat pertama kali kita bertemu aku mulai jatuh
hati padamu hingga sekarang rasa itu semakin lekat dalam pikiranku. ”
"Jujur,
aku senang kalau kamu mau jujur sama
aku bahwa kamu sayang aku. Tapi kenapa perasaan
kamu harus buat aku, padahal kamu sendiri tahu keadaan aku saat
ini."
“Maaf Fia, ini hanya
perasaan pribadiku, perasaan yang tak pernah mau melihat bagaimana keadaan yang
sebenarnya.”
“Aku memahami itu, tapi kamu harus maju Dik, kamu harus bisa membuka hati kamu, untuk
orang-orang yang mungkin sudah di pilihkan Tuhan untuk kamu sayangi."
“Aku akan coba untuk itu.” (dengan suara yang hampir tak
kedengaran)
“Ku harap kamu mengerti dan ku tak ingin hatimu terluka
lebih dari ini.”
“Ok Fia!”
Sejenak kami membisu, Fia terlihat masih bermain dengan perasaannya, sama seperti apa yang ku lakukan.
“Oh ya gimana hubunganmu dengan Adly?" Aku mencoba memecah keheningan.
"Fine!"
"Syukurlah
kalau gitu, dia beruntung dapat wanita seperti kamu. Dan kamupun beruntung
memilikinya. Kalian pasangan serasi."
Fia tampak memalingkan wajahnya dari pandanganku ketika
ku berkata seperti itu.
“Hari ini aku putuskan untuk pergi dari
kehidupan kamu Fia."
"Kamu
ingin memutus tali persahabatan kita?
kenapa?"
“Dari awal, aku memang salah karena dalam persahabatan kita aku sudah
bermain dengan hati. Selama kamu berhubungan denganku, kamu selalu bilang
bahwa Adly tak pernah tahu. Dan
kamu selalu bersembunyi dari setiap orang jika ingin bertemu denganku. Semua lelaki sama Fia,
mana ada yang rela jika tahu pacarnya lebih sering
berhubungan dengan sahabatnya. Aku tak ingin menjadi perusak bagi
hubungan kamu dengan Adly,
maka dari itu, aku memilih untuk mundur.”
“Kenapa kamu berfikiran seperti itu? Kamu bukan
penghalang hubunganku dengan Adly.”
“Fia, hidup ini pilihan. Meski kita menemukannya bukan
berarti kita memilikinya. Tapi ku yakin Adly orang yang pantas untukmu dan jagalah
perasaannya. Sejak hari ini, aku tak akan menghubungi kamu lagi, meski begitu
aku akan selalu mendoakanmu dan mengenangmu.”
"Kenapa
kamu seperti
membuangku?"
"Aku
bukan membuang kamu Fia, hanya kamu harus mengerti akan perasaanku,
yang akan tersiksa jika seperti ini terus."
"Apa kamu tak ingin berubah pikiran?"
"Tidak Fia, ini sudah lama ingin aku lakukan, hanya
menunggu waktu yang tepat, dan aku yakin kamu bisa hidup jauh lebih baik dengannya."
Fia terdiam, air mata mulai bergulir di pipi
lembut gadis itu. "Aku tak menyangka kamu mempunyai pemikiran seperti ini,
aku pikir kamu bisa menjadi sahabat terbaik dalam hidupku, namun kamu malah
memilih pergi."
"Fia dengar, ini untuk kebaikan kamu juga."
Aku memberanikan diri mengambil lengannya dan mulai menggenggamnya.
"Tapi
aku tak ingin kehilanganmu." Tak kusangka Fia memeluk erat tubuhku.
"Fia dengarkan aku." Perlahan aku melepas pelukan itu. "Kamu tak
akan pernah kehilanganku, karena aku akan selalu ada disini.”
"Baiklah, apakah aku
boleh menghubungi kamu lagi jika aku putus dengan Adly."
"Ya, tapi aku tidak menyuruhmu memutuskan hubungan
mu dengan Adly. Biarkanlah
hidup ini mengalir seperti air."
"Gimana kalau kamu sudah memiliki cewek? Aku tak boleh
menghubungimu?"
"Itu balik lagi ke pribadi kamu Fia. Ini sudah malam, sebaiknya
kamu pulang, orang tuamu pasti mencari
kamu."
Fia melirik jam di lengannya."Aku pamit Dik."
"Jaga diri kamu ya, lakukan yang terbaik untuk
orang-orang yang menyayangi kamu.
Aku sayang kamu Fia."
Fia mengangguk, di balikkannya tubuhnya dan mulai berjalan
menjauhiku.
Perih hati ini membuatku tak dapat menahan laju air mataku.
Untuk kesekian kalinya aku harus menguras mataku karena Fia, aku masih ingin bersamanya namun keadaan tak mengijinkanku untuk itu, sudahlah, dia
memang bukan untukku.
Sofia Diyanti,
gadis yang selalu aku damba kini hanya
menjadi bagian sejarah perjalanan hidupku.